Labuhanbatu_news

Situs Pribadi (Memuat Berita-Berita Seputar Labuhanbatu)

Google

15 Agustus 2007

Labuhanbatu Menyongsong Lahan Pangan Abadi???

Meminimalisir terjadinya Konversi lahan pertanian(sawah) yang terus terjadi membutuhkan adanya perangkat perundang-undangan yang dilengkapi sanksi, serta penerapan sosial-budaya setempat.

Labuhanbatu dengan luas 920-an ribu meterpersegi, pada dekade tahun 80-an merupakan daerah yang dikenal sebagai daerah ‘lumbung padi’, dimana merupakan daerah yang dikenal sebagai sentra penghasil padi dengan dua varietas padi unggulan, yakni Ramos dan Kuku Balam.
Namun, beberapa dasawarsa terakhir peralihan fungsi lahan pertaniannya ke non pertanian kian gencar, disinyalir akan membawa implikasi serius terhadap minimnya produksi pangan yang dihasilkan daerah berpenduduk 922-ribuan jiwa tersebut.
Kekhawatiran itu sebenarnya telah lama mencuat kepermukaan, namun upaya demi upaya untuk menekan laju terjadinya konversi lahan itu dinilai belum optimal, bahkan indikasi kecemasan tersebut mencuat ketika HT Milwan, Bupati Labuhanbatu yang diwakili Sekdakab Labuhanbatu, H Syahruddin Ritonga ketika gelar acara sosialisasi pendistribusian pupuk bersubsidi di Labuhanbatu di ruang data dan karya setdakab Labuhanbatu beberapa sempat menggeluarkan stagmentnya akan membubarkan Kantor Ketahanan Pangan(Hanpang) bila tidak segera mengadakan database pertanian daerah itu.
Alih-alih menciptakan lahan baru untuk pertanian, deras dan kencangannya konversi lahan pertanian dominan terjadi ke fungsi pemanfaatannya sebagai lahan perkebunan untuk budidaya tanaman Karet dan Kelapa Sawit sebagai komoditi daerah bermotto Ika Bina En Pabolo itu, selain pengalihannya menjadi areal permukiman penduduk.
Memang, banyak faktor dan kompleksitas permasalahan yang menggeluti penyebab terjadinya hal tersebut, salahsatunya didasari faktor ekonomi yang kian menjepit pihak-pihak tertentu untuk segera mengalihkan fungsi lahan persawahannya, seperti lemahnya penguasaan permodalan dalam pemanfaatannya dan minimnya ketersediaan infrastruktur jalan darat menuju daerah sentra-sentra pertanian, yang dominan terletak di pesisir pantai Labuhanbatu. Sehingga kerap terjadi Labuhanbatu punya Padi, Asahan dan Tanjungbalai punya nama, dimana para petani setempat lebih memprioritaskan mengangkut hasil pertanian memanfaatkan prasarana transportasi air. Maka tak ayal, warga pesisir yang semula terisolir tersebut menjadi marginal dan tertinggal dalam hal pembangunan.

Studybanding
Sulitnya upaya mengendalikan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian merupakan salah satu penyebab kedepan memiliki indikasi makin terbatasnya kemampuan dalam menyediakan pangan untuk masyarakat Labuhanbatu. Sehingga, Upaya-upaya perumusan menekan laju konversi terus dilakukan, serta mencari formula-formula yang efektif dan efisien, salahsatunya dengan melakukan studibanding ke beberapa daerah di Indonesia sebagai sentra penghasil padi yang dinilai berhasil mempertahankan lahan persawahannya.
Seperti Kabupaten Solok-Sumatera Barat, daerah yang memiliki 3.738 Kilometer persegi yang terletak 0 derajat 32”-1 derajat 45” Lintang Selatan(LS) dan 101 derajat 27”- 101 derajat 41” Bujur timur(BT) dengan topografi daerah pada ketinggian 400-1.700 meter diatas permukaan laut(dpl) dengan temperatur 12 derajat hingga 33 derjatar celcius, daerah yang berdemografi kepadatan penduduk 92 jiwa persegi itu, memiliki potensi daerah sebagai penghasil pertanian(Padi) yang terkenal dengan ‘beras Solok’, dinilai sukses, sebab daerah yang dipimpin Gusmal SE MM, Bupati Kabupaten Solok dan Drs Desra Ediwan Anantanur, Wakil Bupati Solok dalam visinya sesuai Perda No 4 tahun 2005 dearah itu, bertekad menjadikan kabupaten Solok menjadi daerah terbaik dari yang baik, sehingga berupaya menciptakan masyarakat yang bangga pada usaha dan daerahnya, bertaqwa, berakhlak, berbudi luhur dan berdisiplin. selain itu juga, membanung sikap perantau bangga pada kampung halamannya dan aparaturnya sendiri bangga dalam pengabdiannya, sehingga visi pemerintahan dalam mewujudkan kepemimpinan, pemerintahan dan masyarakat yang amanah, santun dan tegas menuju masyarakat madani di Kabupaten Solok tahun 2010.
Bedi Djubaedi, Ketua Komisi A DPRD Labuhanbatu dalam kunjungan kerja di Gedung DPRD Kabupaten Solok, Senin(13/8) yang disambut langsung oleh Yondri Samin, Sudirman Nur, Yuserini, Irfan Rajo Kaciak, H Alizar , Chandria Nila Permata, Irwan Effendi dan dari pihak eksekutif Solok hadir Wizarman, Kepala BKD Solok, Radiyatul Hayat(Bagian Hukum), Doni R Samula(Ka.Tapem) Pemkab Solok, mengatakan telah banyak mendengar kiprah kabupaten Solok, sehingga melalui kunjungan tersebut akan mendapatkan konsep-konsep yang telah diterapkan di Solok.
Pada kesmpatan itu, terungkap konseptual upaya mempertahankan lahan persawahan di kab Solok, bahwa masyarakatnya yang masih kental dengan budaya ninikmamak- nya, dimana budaya sosial terbukti dinilai lebih mampu berperan dalam menekan laju konversi lahan persawahan di daerah itu.
Radiyatul Hayat, SH, Kepala bagian hukum setdakab Solok seusai acara itu mengatakan budaya masyarakat Solok dan Minangkabau yang lebih dikuasai oleh adat dan hukum adat yang berlaku di daerah setempat. “Budaya masyarakat setempat memiliki pemahaman, lahan pertanian(sawah) merupakan satu kebanggaan, tapi bila melakukan konversi bahkan penjualannya maka akan merasa termalukan dan menjadi aib di tengah masyarakat,” ujarnya. Penggelolaan pertanahan di Solok lebih dominan berstatus sebagai Tanah ulayat, dikuasai ninik mamak yang sesuai dengan hukum yang tertuang didalam UUPA. “Maka, bila ingin melakukan konversi lahan persawahan mesti melalui persetujuan dan kebijakan dari pihak tokoh-tokoh adat dan mamak kepala waris, melalui referensi hukum adat yang berlaku di Solok,” tegasnya.
Memang, gencarnya alih fungsi lahan pertanian di Indonesia disangsikan akan membawa implikasi serius tentanfg indikasi terjadinya kerawanan pangan dimasa mendatang jika tidak segera dicegah dan dikendalikan. Skala Nasional kekhawatiran kian menyempitnya lahan pertanian pangan yang terjadi juga telah mengundang untuk menggodok perangkat hukum yang terkait hal tersebut, seperti Rancangan Undang-Undang Penggelolaan Lahan Pertanian Pangan Abadi(RUU PLPPA) yang berupaya menciptakan kedaulatan pangan nasional pada umumnya.
Idealnya, peraturan perundangan yang secara sistematik dan holistik yang akan mengatur laju konversi lahan segera terwujud, sehingga menjamin ketersediaan lahan pertanian secara berkelanjutan. Tapi penataannya menjadi lahan pertanian abadi akan berjalan dengan adanya persamaan persepsi dengan adanya persamaan persepsi antara pusat, propinsi dan kabupaten/kotamadya
Hal itu dikatakan Irwansyah, salah seorang anggota DPRD Labuhanbatu pada kesempatan kunjungan kerjanya di kab Solok menjawab tentang perbandingan dan penerapan konsep mengkedepankan sosial budaya dalam upaya mempertahankan dan meminimalisir terjadinya konversi lahan pertanian. Masyarakat Kab Solok pantas berbangga dengan penerapan budaya setempat yang mampu mengatur secara jelas tentang peruntukan lahan di daerah itu.
Untuk daerah Labuhanbatu yang dikhawatirkan Irwansyah, lahan-lahan pertanian yang kian berkurang disebabkan terjadinya peralihan peruntukkannya menjadi areal perkebunan dan lain-lainnya, dipandang perlu mengadopsi beberapa formula dan kebijakan yang laik untuk diterapkan, sesuai dengan kultur dan budaya Labuhanbatu. “Bila UU Lahan Pangan Abadi berlaku, maka pihak DPRD Labuhanbatu segera akan membahas penerapannya di Labuhanbatu dalam upaya penyelamatan lahan persawahan yang ada,” tegasnya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda