Labuhanbatu_news

Situs Pribadi (Memuat Berita-Berita Seputar Labuhanbatu)

Google

24 Juli 2007

SK Menhut No 44 /2005, 'Sengsarakan' Rakyat

Hutan sebagai paru-paru dunia, dewasa ini merupakan persoalan global Internasional, sehingga dalam upaya penyelamatan dan pelestariaannya dilakukan pemetaan kembali kawasan yang ditetapkan sebagai areal hutan, namun kenyataan dilapangan, tak jarang timbul persoalan baru terkait sengketa agraria tentang telah beralih fungsi dan termamfaatkannya untuk kegiatan di pelbagai sektor .

DALAM pemetaan kembali kawasan yang dijadikan sebagai areal hutan di Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Labuhanbatu teraplikasi melalui Surat Keterangan (SK) Menhut No;44Menhut-II/2005, tentang Penunjukan Kawasan Hutan di wilayah propinsi Sumatera Utara seluas ± 3.742.120 Ha.

Hal itu merupakan implementasi dan didasari oleh keluarnya Keputusan Menteri Pertanian bernomor; 923/Kpts/Um/12/1982 lalu. Dimana, sebelumnya sebenarnya telah pernah dilakukan dan ditunjuk kawasan-kawasan sebagai areal hutan di wilayah propinsi Dati I Sumut versi Menteri Pertanian dengan luas ± 3.780.132,02 Ha.

Namun, seiring dengan itu, walau terjadi penyusutan jumlah luasnya, akan tetapi belakangan waktu, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Prop.Sumut bernomor; 7 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Sumatera utara Tahun 2003-2018 yang ketika itu ditanda tangani oleh H.Ahmad Azhari selaku Ketua DPRDSU dan Alm.H.Rizal Nurdin yang masa itu masih menjabat sebagai Gubernur Sumut, pun, telah di alokasikan kawasan hutan Propinsi Sumut, terdiri dari sebagai Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam seluas ± 477.070 Ha, Hutan Lindung seluas ±1.297.330 Ha, Hutan Produksi Terbatas ± 879.270 Ha, sedangkan hutan Produksi tetap seluas ±1.035.690 Ha dan hutan Produksi yang dapat di konversi seluas ± 52.760 Ha, sebagai embrio data luas hutan yang diadopsi oleh Menhut , sehingga terlahirlah SK Menhut yang ditanda tangani Menteri Kehutanan (Menhut) RI, H.MS Kaban, tertanggal 16 Pebruari 2005 lalu, untuk penetapan kawasan-kawasan hutan di Sumut.

Dari luas hutan Sumut ini, (sejak masa feodalisme Belanda lalu, Labuhanbatu disebut-sebut dan ditetapkan dengan istilah sebagai kawasan hutan di Register 4 Kl- red), belakangan waktu, berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Labuhanbatu, dinyatakan Labuhanbatu memiliki luas areal hutan 270.156,35 Ha, dengan perincian Kawasan Hutan Konversi yang berfungsi sebagai kawasan hutan suaka alam dan kawasan pelestarian seluas 2.706,31 Ha, untuk Kawasan hutan Lindung seluas 86.353,17 Ha dan Kawasan Hutan Produksi terbatas 43.276,17 Ha.

Demikian pula halnya untuk hutan Produksi Tetap seluas 135.827,70 H, adapun luas areal hutan yang ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Produksi yang dapat di konversi seluas 1.993 Ha.

Kawasan hutan itu, sesuai data dari hasil pemetaan yang dilakukan oleh Balai Pemantapan Kawasan hutan wilayah I Sumatera Utara, dinyatakan keterdapatan kawasan hutan di Labuhanbatu, lebih di dominasi di wilayah Pesisir Pantai Timur Sumut, yakni kecamatan Panai hilir, di desa S.Keluang, S.Tungkari, S.Tanjung Bongsi, juga di Kualuh Leidong, tepatnya di Kampung Mesjid, demikian pula untuk wilayah Kualuh hulu, Kampung Beringin, tepatnya di desa A. Malik dan A.Sagar, serta Kualuh hilir, dan beberapa tempat lainnya di-Labuhanbatu.

Namun, seiring kian menggeliatnya laju perkembangan dibumi Ika Bina En Pabolo itu, baik semakin luasnya kebutuhan masyarakat guna pemamfaatan dan pembukaan areal hutan sebagai kawasan permukiman untuk areal hunian penduduk maupun pengalihan fungsi lahan hutan sebagai perkebunan dan perladangan, belakangan waktu, memunculkan satu fenomena fundamental tentang bergulirnya kepermukaan berbagai sengketa agraria, baik secara vertikal maupun horizontal.

Pasalnya, banyak para warga yang telah memamfaatkan dan mengolah areal hutan, baik dalam melakukan aktivitas pembukaan permukiman baru di areal hutan , yang konon, kini telah menjadi tempat permukiman berbagai masyarakat heterogen, dengan kata lain, dimana sebelumnya hanya sekelompok komunitas yang berdiam diri di kawasan bukaan hutan itu, kini kian berkembang dan mengundang kedatangan warga dari luar, sehingga pada gilirannya kian memacu laju perkembangan pembangunannya.

Belum lagi, dengan pembukaan kawasan hutan yang dimamfaatkan sebagai areal perkebunan berbagai komoditas, yang konon lebih didominasi dalam budidaya tanaman holtikultura Kelapa Sawit dan Karet sebagai tanaman komoditas daerah dengan julukan ‘pedro dollar’ itu, baik yang dilakukan oleh masyarakat perorangan, maupun pihak swasta dalam negeri(Perusahaan Modal Dalam Negeri/PMDN) dan swasta asing (Perusahaan Modal Asing/PMA) dalam memamfaatkan kawasan hutan dengan jumlah luas dideret angka ratusan bahkan ribuan hektar.

Ironisnya, kawasan hutan bukaan baru tersebut juga tak jarang mendapat dukungan dari berbagai pihak, bermula dari keluarnya ijin pengolahan hutan oleh pihak aparatur pemerintahan terkecil di tingkat pedesaan, hingga pada fase keluarnya ijin prinsipil dari Pemerintah Kabupaten setempat dan terakhir, teregistrasinya di Badan Pertanahan Negara (BPN) setempat, alhasil mempeloreh nomor sertifikasi sebagai kepastian hukum dalam kepemilikan Hak Atas Tanah.

Belakangan waktu, seiring dengan ditelurkannya Surat Keputusan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia bernomor ; 44 Tahun 2005 lalu, tentang penetapan kawasan- kawasan sebagai areal hutan, lantas, juga memunculkan satu persoalan besar yang mendasar. Sebab, dalam SK tersebut, dengan nyata diterakan beberapa titik dalam koordinat di wilayah Labuhanbatu yang semestinya dibebaskan untuk dijadikan sebagai kawasan-kawasan hutan.

Tragisnya, satu dari beberapa tempat yang dinyatakan sebagai kawasan hutan di Labuhanbatu itu, memicu kekhawatiran para warga yang bermukim di wilayah itu, ambil contoh, salah satunya di kecamatan Kualuh leidong- Labuhanbatu, seribuan warga yang berdiam diri di daerah itu, walau dengan nyata telah dinyatakan oleh BPN setempat telah memiliki Hak Atas Tanah dengan teregistrasinya dalam format surat yang bernama Sertifikat tanah, akan tetapi, warga yang juga masih dinyatakan sebagai Rakyat Indonesia itu, terpaksa berdelegasi ke DPRD SU belum lama ini, terkait kekhawatiranya bakal di’gusur’ dari daerah itu, karena ditetapkan sebagai kawasan hutan.

Munculnya persoalan urgent ini, juga mengundang keprihatinan berbagai element masyarakat disana, seperti halnya pendapat Jaffar Siddik, wakil Sekretaris The Enteng Center (TEC)ini, via telepon selularnya, Senin(12/3) mengatakan, ”Memang, Hutan sebagai paru-paru dunia, dalam penyelamatan kelestariannya, kini telah menjadi persoalan bersama-sama ,bahkan dengan pihak Internasional”,ungkapnya.

Namun, disinyalir Jaffar, kuat indikasi disebabkan kurangnya koordinasi lintas sektoral diantara aparatur pemerintahan memicu tidak akurat dan sinkronnya data yang ada, ”Koordinasi antara pihak Badan Pertanahan Negara di Labuhanbatu dengan pihak Pemerintah setempat, kurang efektif, sehingga menjadi pemicu permasalahan”, terangnya. Karena, kata Jaffar lebih lanjut, dalam mengolah data dan informasi seputar pertanahan dan kawasan hutan kurang akurat.

Ironisnya, tambahnya lagi, sedang oknum-oknum petinggi di daerah itu yang melakukan pembukaan kawasan hutan di kaki bukit barisan yang nota bene sebagai areal tangkapan air di hulu sungai dengan melakukan pembukaan hutan sebagai perkebunan kepala sawit ataupun karet, mengapa tidak terdengar diharuskan melakukan pembebasan areal untuk dijadikan sebagai kawasan hutan.

Dalam menyikapi persoalan itu, Kedepan, harap Jaffar, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Labuhanbatu dalam hal ini di bawah kepemimpinan HT.Milwan, agar mau melakukan penelitian ulang dan meninjau permasalahan di lapangan dan segera merekomendasikannya kepada pihak Menteri Kehutanan di Jakarta. ”Jangan masyarakat kecil yang menjadi korban dan tergusur dari permukiman mereka, seyogyanya pihak pemerintah setempat diminta untuk dengan segera melakukan upaya mencari sebuah solusi pemnyelesaian masalah”, tegasnya.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Cinta Tanah Air Panai Area (CTAPA) Labuhanbatu, Lahmuddin Hasibuan, Senin(12/3) di Rantauprapat mengatakan, ekses dari para aparatur di bidang pertanahan dan aparatur pemerintahan di desa, kurang menguasai dan memiliki data tentang perangkat dan peraturan berlaku dalam pertanahan dan kehutanan di daerah Labuhanbatu, telah memicu munculnya berbagai persoalan agraris di daerah itu, “Atau memang oknum-oknum itu sengaja tidak mau menjalankan perangkat hukum yang berlaku”,imbuhnya, dengan dalih, kata Lahmuddin, “Adanya indikasi untuk mengambil keuntungan tersendiri yang dilakukan oleh oknum aparatur terkait dalam pengurusan ijin pertanahan”,urainya dengan penuh tanya misteri.

Ekses dari bermunculannya sengketa agraris di Labuhanbatu, pada gilirannya, sesal Lahmuddin, akhirnya menempatkan posisi Bupati Labuhanbatu dalam hal ini HT.Milwan, dalam keadaan ‘terjebak’ oleh persoalan-persoalan seputar penyelesaian berbagai sengketa pertanahan yang kini kian menggelinding kepermukaan di daerah itu,urainya. Itu semua, tegas Lahmuddin, dampak dari keteledoran perbuatan yang dilakukan oleh ulah oknum-oknum bawahannya, ”Semula, Pihak oknum-oknum aparatur terkait tidak turun kelapangan dalam melakukan penelitian seputar pemamfaatan dan rencana pengalihan fungsi lahan kawasan hutan menjadi areal permukiman penduduk maupun sebagai kawasan perkebunan.

Belum lagi, imbuh Lahmuddin, ekses dari mencuatnya persoalan itu juga menutup akses masyarakat kepada pihak perbankan dalam melakukan transaksi peminjaman keuangan guna memajukan perekonomian.

Lain halnya pendapat Direktur Lembaga Bina Masyarakat Indonesia (LBMI), Yos Batubara, Kamis (15/3) di Rantauprapat, mengatakan bahwa keputusan Menhut tersebut telah berdampak kepada masyarakat Labuhanbatu oleh karena itu, katanya keputusan tersebut harus segera ditinjau kembali, atau imbuhnya, pihak yang dirugikan tidak tertutup kemungkinan akan melakukan action melalui jalur hukum, sebab, LBMI belakangan waktu tengah konsentrasi dalam menyusun acuan kepada Pemkab, Gubernur bahkan Presiden RI untuk mendorong percepatan pemnyelesaian berbagai sengketa konflik pertanahan yang ada khususnya di Labuhanbatu, sebab bila hal ini dapat terwujud maka Labuhanbatu adalah merupakan satu-satunya Kabupaten di Indonesia yang akan memiliki tim penyelesaian sengketa agraria yang di Perdakan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda