Labuhanbatu_news

Situs Pribadi (Memuat Berita-Berita Seputar Labuhanbatu)

Google

24 Juli 2007

60 Persen Tayangan Televisi Tak Mendidik


Tayangan Media elektronika, khususnya Pertelevisian belakangan waktu tidak lagi mengandung jiwa pendidikan, bahkan sekitar 60 persen memiliki sisi sadisme, tahayulisasi dan horor.

Demikian diutarakan, Drs.HM Nizar Syarif Pimpinan Wilayah Al Jamiyatul Washliyah Sumut dalam pidato sambutannya pada acara Sidang Senat Terbuka wisuda IX Sekolah Tinggi Agama Islam(STAI) Al Washliyah Kabupaten Labuhanbatu, Sabtu(16/6).

"Hampir setiap hari masyarakat dihidangkan tayangan televisi, akan tetapi 60 persen didominasi oleh berita-berita pemerkosaaan, perampokan, pembunuhan, kekerasan, dunia hantu dan perpocongan, praktek klinik dan tahayulisasi lainnya bahkan tidak segan-segan menggunakan nama tuhan sebagai reverensi", tegasnya.

Parahnya, katanya ada stigma baru yang sengaja dimunculkan dikalangan remaja melalui media-media elektronik bahwa seorang yang berprestasi itu diukur dengan tarian dan goyangannya, bernyanyi sambil mengobral aurat serta berpeluk ria didepan kamera, bahkan anehnya para pemirsa digiring untuk terjebak pada perbuatan sesat dan amoral dengan mengirimkan short Massage system (SMS) sebanyak-banyaknya.

Eksesnya, terang Nizar diarena kehidupan lainnya, masyarakat diwarnai oleh prasangka dan saling kecurigaan, kebajikan dimaknai dengan kemunafikan, amar makruf diterjemahkan sebagai bagian dari teroris, kritik diartikan sebagai hujatan dan bahkan sebuah kejujuran ditafsirkan sebagai bentuk kebodohan.

Sebab, diera digital ini manusia telah banyak mengidap penyakit 'peradaban' atau Patology Spiritual yaitu banyak orang yang sukses secara sosial ataupun ekonomi tapi kehilangan makna spritual dalam dirinya. Gaya hidup Snobisme dan Hedomistik yakni tindakan meniru orang lain secara berlebih-lebihan tanpa merasa malu, merendahkan orang lain yang dianggap statusnya lebih rendah dari dirinya dan menjadikan kesenangan dan kenikmatan dunia menjadi tujuan hidup, hal ini mengakibatkan dorongan yang kuat dalam meraih sesuatu dengan menghalalkan segala cara.

"Maka, stigmatisasi itu menjadi kenyataan yang menantang kita untuk lebih banyak berfikir, berkontemplasi serta melakukan kajian-kajian yang lebih dalam terhadap adanya penyesatan tata nilai dan peradaban ummat manusia", pungkasnya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda