Labuhanbatu_news

Situs Pribadi (Memuat Berita-Berita Seputar Labuhanbatu)

Google

13 September 2007

Kerasnya Semangat Hidup Pemecah Batu *Aek Buru Tak Lagi Diburu


Peluh membasahi tubuh semampainya, menandakan telah banyak energi yang terkuras dalam memecah bongkahan batu padas di lereng bukit. Tapi, keras semangat yang dimiliki dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, malah lebih keras dan mampu memecah kekerasan berdiameter batu alam tersebut.

Pohan, 47, pria bertubuh penuh peluh diterik panas mentari siang itu, Sabtu(8/9), masih menyisahkan tubuh kekar usia mudanya. Hal itu terlihat dari lekukan otot-otot dipergelangan dan bahu tangannya. Tanpa mengecap pendidikan Tinggi dan terhalang oleh keterbatasan modal usaha yang dialami, menyebabkannya harus hidup sebagai pekerja pemecah batu padas di salahsatu usaha galaian C di kawasan lereng Bukit Barisan yang terletak di Desa Aek Buru, Bilah Barat, Labuhanbatu.
Sebelumnya, tidak pernah terlintas didalam benaknya untuk melakoni pekerjaan tersebut. Namun, pekerjaan yang telah dilaksanakan sejak tahun 1981 lalu itu, akhirnya dilakoni ketika bermula dari datangnya tawaran dari seseorang yang membutuhkan ketersediaan batu padas sebagai pondasi awal fisik infrastruktur.
Sejak saat itu, hiduplah Pohan dan beberapa pemuda setempat sebagai pekerja pemecah batu. Pun, hingga akhirnya menjalani kehidupan rumahtangga dan memiliki buah hati, akhirnya aktivitas keseharian di lereng bukit kian menjadi penopang perekonomian keluarga pria yang memiliki anak 4 orang itu.
Perjuangan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, bahkan tidak mengenal arti bahaya dalam memecah berdiameter batu alam itu. Tak jarang martil godam yang di tangannya dengan berat sekira 20 kg, tak henti-hentinya diayunkan guna memecah batu hingga menyisahkan bongkahan-bongkahan material batu yang mampu mengundang Rupiah. Resiko keselamatan kerja sering menghantui dan membayangi aktivitasnya. Pasalnya, bukan tidak mungkin ayunan martil malah menghantam tulang kakinya dan bukan hal mustahil baginya mengalami kecelakaan tergelincir dari lereng bukit yang tinggi dengan kemiringan bukit berkisar 85 derajat.
“Namanya kerja kasar, ya, mesti sanggup menghadapi bahaya seperti itu, walau kitapun mesti dituntut kehati-hatian dalam bekerja,” ujarnya ketika disambangi di lokasi kerjanya. Ketika harus berhadapan dengan resiko tersebut, katanya seraya sesekali menghentikan ayunan martil ketika menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Pohan bukannya luntur semangat apalagi mesti ciut nyali, malah dengan mengalami kejadian-kejadian tersebut, Ia bahkan kian memiliki prinsip hidup, bahwa segala sesuatu mesti membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Tak lama beristirahat dalam menyembuhkan luka-luka yang dialami, kemudian melanjutkan pekerjaan, kenangnya. “Paling butuh istirahat sekitar 8 hari, setelah luka-luka sembuh terpaksa mesti kembali bekerja,” imbuhnya.
Kata Pohan, dari hasil kerjanya tersebut, sedikitnya 3 meterkubik batu padas dapat dipecahnya dari lereng bukit, selanjutnya dikumpul dengan beberapa tumpukan sesuai dengan volume batu masing-masing. Dari kegiatan itu, paparnya, dipastikan akan diperoleh upah kerja dari sang majikan Rp 27.000 dari setiap meter batu. Sedangkan bagi tokenya akan menjual material bahan bangunan itu kepada konsumen senilai Rp 55.000 permeternya yang telah diangkut kedalam truk. “Biasanya, bila ada yang datang membeli sekalian membawa alat transportasi(truk) dan harga yang akan dikenakan setiap meternya oleh majikan adalah Rp 55 ribu setiap meter. Harga itu dengan perincian batu telah berada diatas truk,” jelasnya.
Dengan selisih nilai jual dengan upah kerja yang diterimanya, Pohan tidak pernah mengeluhkan hal itu, karena dia dan juga 3 orang teman seprofesinya mengetahui persis posisi mereka dengan pihak majikan. “Usaha dan lokasi ini(Pertambangan) milik boru Sitinjak. Dialah yang memberikan kepada kami alat-alat yang dibutuhkan dalam bekerja. Seperti martil, linggis, pahat, cangkul dan beberapa alat lainnya. Jadi, hal wajar jika posisi upah yang kami terima masih dibawah harga jual kepada konsumen,” tegasnya.
Bahkan dalam menetapkan batas-batas wilayah pekerjaan memecah batu juga mereka tetapkan sendiri ukurannya, sehingga tidak pernah memunculkan masalah batas penambangan masing-masing. “Kami menetapkan batas secara adil, sebab masing-masing memiliki wilayah sekira 4 meter dari pucak bukit hingga ke dasar lereng yang berketinggian tak kurang dari 15-an meter,” tuturnya.

Aek Buru, Kini Tak Lagi Diburu
Namun, Pohan cs tidak menyadari sepenuhnya dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya yang kemungkinan akan muncul dikemudian hari akibat rutinitas yang mereka lakoni keseharian, terlebih-lebih ancaman terjadinya longsoran tanah. “Ya, bila dikatakan akan terjadinya longsoran-longsoran tanah, itu memang sering terjadi dan bahkan untuk menemukan kandungan batu padas di dalam lereng bukit, kita malah harus melongsorkan tanah-tanah yang menyelimutinya,” ujarnya polos.
Maka tak heran, Desa Aek Buru, Bilah Barat yang sebelumnya dengan memiliki panorama alam di jajaran lereng Bukit Barisan itu, dahulunya dikenal sebagai lokasi rekreasi dan tempat masyarakat kota Rantauprapat pada khususnya, dan warga Labuhanbatu dari beberapa kecamatan pada umumnya, menjadikan wilayah tersebut sebagai Daerah Tujuan Wisata(DTW). Kini, hal itu hari demi hari kian luntur di hati masyarakat. Bahkan, masyarakat kini tidak lagi memburu Aek Buru sebagai tempat dalam melepaskan kepenatan rutinitas keseharian. Sebab, selain telah bermunculannya tempat-tempat peristirahatan yang lebih memiliki tingkat pemuasan kebutuhan pengunjung dengan ketersedian berbagai fasilitas yang ada di beberapa tempat di Labuhanbatu, aliran sungai Aek Buru, pun kini tidak lagi sejernih pada masa lalu. Hal itu dikarenakan telah jauh berkurangnya daerah-daerah tangkapan air hujan di hulu sungai itu, dampak dari kian maraknya konversi lahan yang terjadi, termasuk dalam hal ini semakin banyaknya bermunculan para penambang galian C yang menggali batuan padas sebagai pondasi kekokohan lereng-lereng bukit di sekitarnya.
Dus, kian lunturnya minat masyarakat untuk memanfaatkan Aek Buru sebagai lokasi wisata jelas terlihat dengan kian jarangnya dan semakin sunyinya tingkat pengunjung yang hadir ke lokasi itu. Hal itu diperkuat oleh keterangan salah seorang pedagang warung yang menyediakan makanan dan minuman di daerah itu. “Sekarang pengunjung sudah semakin sepi dibanding dengan hari-hari lalu, hal itu pun sering terjadi pada masa-masa liburan,” ujar salah seorang pedagang tanpa mau menyebut identitasnya . Padahal, bila musim liburan tingkat pengunjung yang hadir akan dapat membantu kehidupan dan perekonomian keluarganya. Kecenderungan menurunnya jumlah pengunjung ke lokasi itu, imbuhnya, tidak terlepas dari semakin memudarnya semangat pendatang untuk menikmati air sungai yang kini mengalir dengan keruhnya. “Air Sungai Aek Buru sekarang tidak lagi sejernih dan sebening pada masa-masa lalu. Keruhnya air tersebut membuat berkurangnya minat pengunjung untuk bermandi-mandi,” cetusnya berasumsi. Padahal, selain berniaga berbagai makanan ringan di warungnya, ia juga menyediakan penyewaan ban-ban bekas mobil yang dapat dijadikan pengunjung sebagai pelampung bila ingin menceburkan diri di dalam sungai. “Tapi, karena kian sepinya pengunjung usaha sewa ban pelampung juga semakin sepi,” paparnya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda